Camping.my.id - Tidak banyak yang tahu bahwa di balik berdirinya sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa, sering kali ada cerita perjuangan yang panjang. Begitu juga dengan Mapala Pro Justicia, organisasi mahasiswa pecinta alam dan lingkungan hidup yang lahir dari rahim Fakultas Hukum Universitas Asahan.
Awalnya, tak ada yang menyangka organisasi ini akan tumbuh menjadi wadah yang berpengaruh di lingkungan kampus. Tapi setiap tonggak sejarahnya adalah hasil dari keberanian, perdebatan, dan semangat anak muda yang menolak diam.
Awal Mula dari Sebuah Keresahan
Cerita Mapala Pro Justicia dimulai pada tahun 2016, ketika suasana di Fakultas Hukum Universitas Asahan terasa “kering.” Tidak ada kegiatan mahasiswa yang aktif, tidak ada wadah untuk menyalurkan minat dan bakat, bahkan organisasi kampus seperti BEM dan DPM saat itu tidak berjalan.
Di tengah kondisi itu, dua mahasiswa Rahmad Syambudi dan Radit Kurniawan mulai merasa resah. Mereka ingin melihat fakultas yang lebih hidup, di mana mahasiswa bisa punya ruang untuk berekspresi, bersuara, dan berproses.
Di sebuah malam di Jalan Durian, Kisaran Naga, mereka berdiskusi panjang. Dari percakapan sederhana itu, muncul ide untuk membentuk Unit Kegiatan Mahasiswa yang bergerak di bidang pecinta alam. Sebuah wadah untuk belajar, berteman, dan mengenal diri lewat alam.
Keesokan harinya, tepat tanggal 20 Oktober 2016, mereka mengumpulkan 37 mahasiswa lainnya. Dari musyawarah itu lahirlah UKM Anak Mama Adventure (AMA) nama yang terdengar unik, tapi menyimpan makna kekeluargaan.
Sebuah Nama yang Menjadi Polemik
Namun perjuangan mereka tak berjalan mulus. Pihak fakultas menolak memberikan surat keputusan (SK) legalitas dengan alasan nama Anak Mama Adventure dianggap kurang layak untuk lingkungan akademis.
Bagi Rahmad dan kawan-kawan, penolakan itu bukan sekadar soal nama, tapi soal kebebasan mahasiswa dalam berorganisasi. Mereka pun menempelkan selebaran protes di dinding kampus, menyuarakan hak mereka untuk menentukan identitas organisasinya sendiri.
Dari sinilah periode yang dikenal sebagai masa konflik dimulai. Hubungan antara pihak fakultas dan para inisiator organisasi memanas. Tapi di tengah tekanan itu, mereka justru semakin solid.
Dari AMA ke STATUTA
Tidak mau menyerah, kelompok ini menggelar musyawarah lagi pada Januari 2017. Nama Anak Mama Adventure pun resmi diganti menjadi STATUTA, singkatan dari Serikat Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum Universitas Asahan.
Nama itu dipilih bukan sembarangan. “Statuta” dalam dunia akademik berarti pedoman atau dasar hukum sebuah perguruan tinggi. Pemilihan nama itu seperti sindiran halus mereka ingin menegaskan bahwa tidak ada satu pun pasal dalam statuta kampus yang bisa membatasi kebebasan mahasiswa untuk berorganisasi.
Namun, meskipun nama baru itu terdengar lebih akademis, SK belum juga terbit. Fakultas sempat mengusulkan nama “Ekosistem,” tetapi kembali ditolak oleh para anggota karena dianggap tidak melalui musyawarah.
Lahirnya Nama Pro Justicia
Setelah melalui beberapa kali perdebatan dan diskusi, akhirnya disepakati nama baru: Pro Justicia. Dua kata latin ini berarti “demi keadilan.”
Nama itu terasa tepat, apalagi organisasi ini berdiri di bawah Fakultas Hukum. Dalam konteks lingkungan hidup, makna “Pro Justicia” juga meluas: berpihak pada keseimbangan alam.
Akhirnya, pada 24 Februari 2017, perjuangan mereka membuahkan hasil. Dekan Fakultas Hukum Universitas Asahan, Bapak Abdul Rahman, S.H., M.H., menerbitkan SK resmi yang mengesahkan berdirinya Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup Pro Justicia (Mapala Pro Justicia).
Sebulan kemudian, tepatnya 22 Maret 2017, kepengurusan resmi dilantik oleh Wakil Dekan I. Dari titik inilah, organisasi itu mulai menapaki fase baru fase pengakuan dan pembuktian.
Ujian di Lapangan
Mendapat legalitas tidak serta merta membuat Pro Justicia langsung diterima di kalangan organisasi pecinta alam lainnya. Beberapa komunitas menilai pengakuan sebagai Mapala sejati harus disertai penyelenggaraan Pendidikan Dasar (Diksar).
Mereka pun menyambut tantangan itu. Pada 19 hingga 22 Juni 2017, Mapala Pro Justicia menyelenggarakan Diksar pertamanya dengan sembilan peserta.
Instruktur yang diundang berasal dari Komunitas Pecinta Alam Wak Laabu, yang menariknya beranggotakan banyak sarjana hukum. Jadi selain belajar tentang dunia petualangan dan survival, peserta juga diajak memahami filosofi hukum dan keadilan dalam konteks alam.
Dari sinilah mereka mulai mendapat pengakuan luas.
Saat Pengakuan Itu Datang
Tidak lama setelah Diksar pertama, Pro Justicia mulai ikut berbagai kegiatan pecinta alam di Asahan dan sekitarnya. Salah satu momen penting terjadi pada September 2017, ketika perwakilannya, Raja Dame Tua Sitorus, berhasil meraih Juara III dalam Asahan Boulder Competition yang digelar oleh Pecinta Alam Asahan (PETA).
Itu bukan sekadar lomba panjat tebing. Itu adalah simbol bahwa organisasi yang dulu dianggap “baru kemarin sore” kini sudah berdiri sejajar dengan komunitas lain.
Perempuan dan Wajah Baru Mapala
Salah satu hal menarik dari perjalanan Mapala Pro Justicia adalah keterlibatan aktif para mahasiswi. Nama-nama seperti Dara Puspita Daulay, Miftahul Husna, dan Rika Wulandari Nasution tercatat sebagai motor penggerak organisasi setelah periode awal.
Mereka bukan hanya ikut mendaki atau berkegiatan di alam, tapi juga aktif melakukan sosialisasi dan silaturahmi dengan Mapala dari kampus lain. Pergerakan mereka menunjukkan bahwa kepecintaalaman bukan lagi ranah maskulin, tapi ruang inklusif di mana siapa pun bisa belajar tentang alam dan tanggung jawab sosial.
Regenerasi dan Konsolidasi
Seperti organisasi mahasiswa pada umumnya, Mapala Pro Justicia juga harus menghadapi dinamika regenerasi. Tahun akademik 2017/2018 menjadi masa penting karena hanya satu mahasiswa baru, Faisal Ahmad Munandar, yang rutin mengikuti kegiatan.
Namun, justru dari keterbatasan itulah lahir kekuatan baru. Setahun kemudian, bersama Joko Wibowo, mereka menjadi Angkatan I Mapala Pro Justicia angkatan perintis yang mempersiapkan generasi berikutnya.
Pada Oktober 2018, mereka menyelenggarakan Diksar Angkatan II yang melahirkan Angkatan Air Pasang. Nama itu seperti menggambarkan semangat yang mulai naik kembali setelah pasang surut perjuangan panjang.
Dari Hujan Rindu Hingga Kini
Beberapa bulan setelahnya, pada April 2019, Diksar Angkatan III dilaksanakan dengan nama Hujan Rindu. Meskipun pesertanya hanya dua orang Jannah Aini dan Widiya Rahayu mereka tetap menjalani prosesnya dengan semangat penuh.
Bagi sebagian orang, mungkin hanya dua peserta bukanlah jumlah yang besar. Tapi bagi Pro Justicia, setiap langkah kecil adalah bagian dari perjalanan panjang menuju konsistensi.
Semangat yang Tak Pernah Padam
Kalau melihat perjalanan Pro Justicia dari awal, sulit untuk tidak terinspirasi. Organisasi ini bukan hanya wadah bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Asahan untuk mencintai alam, tapi juga simbol perlawanan terhadap apatisme.
Dari konflik, protes, hingga pengakuan semua dilalui dengan kepala tegak. Setiap keputusan diambil lewat musyawarah. Setiap perubahan dilakukan dengan kesadaran bahwa organisasi harus hidup, bukan sekadar ada.
Kini, Pro Justicia dikenal sebagai salah satu organisasi mahasiswa paling aktif dan solid di lingkup fakultas. Mereka sering terlibat dalam kegiatan lingkungan, pendidikan dasar, hingga kolaborasi dengan komunitas lain di luar kampus.
Refleksi dari Sebuah Perjalanan
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah Mapala Pro Justicia? Mungkin bahwa keadilan bukan hanya urusan ruang sidang, tapi juga urusan hati dan keberanian.
Nama “Pro Justicia” memang berarti demi keadilan, tapi makna yang tumbuh di dalamnya jauh lebih luas. Ini tentang keberanian memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar, tentang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, serta tentang belajar menghargai proses.
Bagi para mahasiswa, kisah ini jadi pengingat bahwa organisasi bukan sekadar formalitas kampus. Ia adalah ruang belajar yang sesungguhnya tempat jatuh, bangkit, bertengkar, lalu berdamai lagi.
Dan dari Fakultas Hukum Universitas Asahan, kisah kecil ini mengalir menjadi inspirasi bagi banyak mahasiswa lain di Indonesia: bahwa setiap perubahan besar selalu dimulai dari segelintir orang yang berani berkata ayo kita mulai.
Kalau dipikir-pikir, perjalanan Mapala Pro Justicia itu seperti pendakian panjang. Ada batu, ada hujan, ada lelah, tapi juga ada puncak di depan sana. Dan mereka terus melangkah.
Karena pada akhirnya, menjadi pecinta alam bukan soal berapa gunung yang didaki, tapi seberapa kuat kita menjaga nilai-nilai yang kita bawa ke mana pun kaki melangkah.
0 Komentar